Kamis, 12 Desember 2013

Cerebral Palsy Belum Banyak yang Memahami


Cerebral Palsy Belum Banyak yang Memahami
Ilustrasi menyuapi bayi. Dailymail.co.uk

TEMPO.CO, Surakarta -- Kelainan fungsi motorik pada anak-anak yang dikenal dengan cerebral palsy belum banyak diketahui masyarakat. Menurut pendiri dan koordinator rumah asuh dan rumah belajar Pediatric and Neurodevelopmental Therapy Centre (PNTC), Nawangsasi Takarini, masih banyak orang tua yang tidak mengetahui jika anaknya menderita cerebral palsy.

"Atau ada yang sudah tahu, tapi sengaja menyembunyikannya karena malu," ujarnya saat peringatan hari cerebral palsy sedunia di Surakarta, Minggu, 1 September 2013. Ada juga orang tua yang tidak tahu tindakan yang mestinya diberikan ke penderita cerebral palsy agar tidak makin parah.

Dia mengatakan penderita cerebral palsy butuh penanganan khusus, yaitu menjalani berbagai macam terapi secara rutin tiap hari atau setidaknya seminggu sekali. Misalnya terapi fisik, terapi fungsional organ tubuh, terapi wicara, terapi perilaku, dan memberikan pendidikan belajar-mengajar. "Secara kemampuan berpikir, mereka tidak beda dengan anak lainnya. Bahkan, ada yang hafal Al-Quran," katanya.

Dia menilai anak-anak penderita cerebral palsy belum mendapat perhatian seperti anak-anak kebutuhan khusus lainnya, seperti anak autis dan anak dengan disabilitas. Menurut dia, fasilitas seperti terapi belum tersedia, begitu juga tenaga terapisnya.

Sejak 2004, dia mengelola PNTC di Surakarta. Setiap hari rata-rata ada 30 anak yang datang untuk terapi. Saat ramai, dalam sehari bisa datang 80-100 anak. "Ternyata cukup banyak anak penderita cerebral palsy di Surakarta dan sekitarnya," ucapnya.

Nawangsasi mengatakan, tingkat kesembuhan cerebral palsy bisa mencapai 90 persen asalkan ditangani sejak dini. Biasanya tanda-tanda anak terkena cerebral palsy terlihat pada tahun pertama kelahiran. Misalnya terlambat untuk menegakkan kepala, duduk, atau bergerak ke sekeliling.

Dalam menangani pasien cerebral palsy, dia menggandeng beberapa universitas di luar negeri. Salah satunya Universitas Alberta di Kanada. Sejak lima minggu lalu, enam mahasiswi pascasarjana fisioterapi dari Kanada praktek di PNTC.

Christy Drever, 25 tahun, salah seorang mahasiswi mengatakan ada perbedaan antara kasus cerebral palsy di Indonesia dan Kanada. "Anak-anak di Solo lebih aktif. Tapi ada juga yang sangat pasif dan terlihat tidak menikmati terapi," ujarnya. Kesulitan lainnya, peralatan di Solo kalah canggih dengan Kanada seperti tidak adanya kursi roda tenaga listrik.

Mahasiswi lainnya, Amber Willcocks, 30 tahun, mengatakan setiap orang menangani minimal enam pasien dalam sehari. Dia mengatakan penanganan ke penderita cerebral palsy harus disesuaikan dengan kebutuhan. "Perlakuan ke setiap anak berbeda-beda," katanya, yang praktek di Solo selama enam pekan.

UKKY PRIMARTANTYO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar